TEMPO.CO, Jakarta - Aparat telah menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton saat tragedi yang menelan ratusan korban meninggal di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu, 1 Oktober 2022.
Selain melanggar regulasi FIFA, peneliti mengungkap penggunaan gas air mata berbahaya bagi kesehatan. Efeknya, mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang, termasuk risiko kematian.
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dede Nasrullah menjelaskan bahan kimia chlorobenzylidenemalononitrile (CS) paling sering digunakan dalam gas air mata. Efek jangka pendek, menyebabkan iritasi mata dan kulit.
“Senyawa CS ini berhubungan dengan reseptor syaraf, ketika paras dan mata terpapar menimbulkan rasa perih dan pedih,” ujarnya dikutip dari Antara.
Menurut Dede, pada keadaan tertentu gas air mata mengakibatkan gagal napas (respiratory distress). Lebih-lebih bagi korban yang mempunyai riwayat Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jika terkena gas air mata, mereka mengalami serangan sesak napas akut yang berujung di gagal napas. Bukan tak mungkin risiko fatalnya ialah meregang nyawa.
Paparan gas air mata dalam ruangan atau dalam jumlah besar dapat pula menimbulkan dampak kesehatan serius. Haar Rohini J dalam penelitiannya tahun 2017 melaporkan, sebanyak 58 dari 5.910 orang mengalami abnormal permanen setelah terpapar gas air mata. Ragam abnormal yang dialami, meliputi kebutaan, cedera otak, asma, hingga amputasi personil badan.
Selain itu, berdasarkan sebuah studi di Universitas Chili menunjukkan bahwa bahan kimia CS dapat memicu keguguran. Pun hal ini turut membahayakan anak-anak di tahun-tahun pertama kehidupan. “Zat kimia dalam gas air mata dapat memengaruhi kegunaan reproduksi, merusak janin di trimester terakhir kehamilan,” kata pakar toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas tersebut, dikutip dari Latin Dispatch.
Terkait Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menyebutkan gas air mata menjadi pemicu utama meninggalnya ratusan orang. “Sekitar 40 ribu penonton panik, beberapa di antaranya susah bernapas dan pingsan. Sehingga, banyak jatuh korban yang terinjak-injak di sekeliling stadion,” kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Faktanya, tragedi pembantaian pejabat kepolisian menggunakan gas air mata dengan dalih pengendalian massa tak hanya sekali terjadi di Stadion Kanjuruhan. Amnesty Internasional dalam laporan investigasi dari tahun 2019 mencatat ada 100 peristiwa di 13 negara telah menyalahgunakan gas air mata. Ini menyebabkan korban mengalami cedera dan kematian.
Menyikapi hal itu, laporan terbaru dari para peneliti di Universitas Toronto menyarankan agar pemerintah menghentikan penggunaan gas air mata. Amnesty International juga tegas menyimpulkan penggunaan gas air mata dalam kasus tertentu masuk kategori penyiksaan. Jika hasil penyelidikan masuk dalam kategori itu, peristiwa di Stadion Kanjuruhan dapat dikata sebagai “Pembantaian Kanjuruhan”, alih-alih sekadar tragedi.
Baca:
Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan, Apa Kandungan dan Efek Sampingnya?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan warta pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.