TEMPO.CO, Jakarta - Dokter bedah onkologi di RS Royal Mandaya Hospital, dr. Arif Kurniawan, Sp.B(K)Onk mengatakan bahwa gangguan pada kelenjar tiroid kerap tak disadari oleh para pasien. "Tetapi oleh orang-orang di sekitarnya yang memandang perubahan tersebut ataupun terdeteksi karena adanya pengecekan yang tak sengaja melalui Ultrasonografi (USG)," kata dr. Arif dalam keterangannya pada Senin 15 Agustus 2022.
Oleh karena itu deteksi awal dan kesadaran masyarakat terhadap kanker tiroid ini perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat mendapatkan penanganan lebih dini. Selain dari pendeteksian dini, pengobatan dan penatalaksanaan pada pasien pun harus tepat, katanya dalam seminar "It's Not You. It's Your Thyroid" yang digelar beberapa waktu lalu.
Dalam seminar yang diadakan untuk turut merayakan World Thyroid Awareness Day 2022 itu, dr. Eko Purnomo, Sp.KN-TM(K) selaku ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) menjelaskan bahwa proses pengobatan kanker tiroid selain dilakukan melalui pembedahan dilanjutkan dengan metode ablasi adalah pembersihan residu pembedahan dengan metode terapi nuklir. "Biasanya masyarakat khawatir ketika mendengar kata nuklir, tetapi sebenarnya tak perlu khawatir karena terapi nuklir ini bukan ditembakkan tetapi metode ini merupakan metode terapi yang dilakukan dengan melalui sistem oral (diminum), sehingga pasien tak perlu diinfus ataupun disuntik," kata dia.
Namun demikian, ketika kondisi kanker ini mengalami refrakter (tidak mempan dengan ablasi), prinsip dan metode terapi harus diubah melalui metode sistemik, adalah metode kemoterapi atau metode terbaru terapi target. “Terapi sasaran dilakukan dengan langkah pasien mengonsumsi obat melalui oral," ujar Eko.
Menurut GLOBOCAN tahun 2020, kanker tiroid menempati urutan ke-12 dengan kasus kanker terbanyak adalah mencapai 13.1141. Kasus kanker tiroid ini 2-3 kali lebih berisiko pada pasien wanita dibandingkan pria. Dela Listiya salah satu pejuang kanker tiroid yang bergabung dalam Yayasan Pitatosca, menceritakan mengenai gejala awal dirinya terdiagnosa kanker tiroid.
Dela bercerita bahwa kesadaran itu malah bukan dari dirinya sendiri, tetapi kerabat dan keluarga yang menyadari bahwa adanya pembesaran pada lehernya. “Saya memandang ada perubahan pada diri saya seperti berjerawat, mudah stres dan beberapa lancingan saya kebesaran dan teman-teman saya juga berkomentar bahwa bagian leher saya terlihat sangat besar. Baru setelah itu saya melakukan pemeriksaan awal," kata Dela.
Hal ini juga rupanya dirasakan oleh Cahyaniati yang juga merupakan pejuang kanker tiroid dan kanker payudara. Dia mengatakan setelah lima tahun terakhir berjuang melawan kanker payudara, ia kembali merasakan kejanggalan pada diri. "Nafas saya merasa tersengal-sengal, saya kesulitan untuk berbicara dan saya mengalami batuk yang tak kunjung usai tiba akhirnya saya melakukan PET Scan dan ditemukan adanya hiperkalsemi dan akhirnya saya disarankan untuk melakukan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid)," katanya.
Baca: 5 Penyebab Penurunan Berat Badan Drastis, Gangguan Tiroid hingga Kanker