TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK menanggapi adanya dugaan intimidasi yang diterima oleh keluarga korban tragedi Kanjuruhan, Malang yang terjadi beberapa waktu lalu.
LPSK meminta Polri melakukan pendalaman terhadap dugaan intimidasi yang menyebabkan keluarga korban mencabut permintaan ekshumasi atau gali kubur jenazah korban tragedi Kanjuruhan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, menyarankan polisi untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Sebab, kata dia, pencabutan permintaan ekshumasi itu sendiri muncul beberapa saat setelah polisi mendatangi keluarga korban.
“Sebaiknya Polri mendalami pernyataan pembatalan ijin dari keluarga korban itu. Karena pembatalan itu terjadi setelah dalam tiga hari polisi mendatangi yang bersangkutan,” ujar dia pada Kamis 20 Oktober 2022.
Baca juga: Bantah Autopsi Korban Tragedi Kanjuruhan Batal karena Intimidasi, TGIPF: Neneknya Keberatan
Ketua LPSK, Hasto Atmojo, mengatakan sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi warganya, termasuk ketika meminta akses keadilan atau memberikan saksi. Oleh karena itu, LPSK tengah mengirim tim sebagai bentuk respons atas permintaan perlindungan para keluarga korban tragedi di Kanjuruhan.
“Sudah, begitu ada info intimidasi, tim LPSK langsung berangkat ke Malang. Sampai saat ini tim belum laporan, karena baru kemarin berangkat,” kata dia pada Tempo.
Sebelumnya, tersiar info kalau sejumlah personil Polri lanjut mendatangi rumah keluarga salah satu korban tragedi Kanjuruhan. Peristiwa tersebut terjadi tak lama setelah pihak keluarga mengajukan permintaan ekshumasi kepada keluarga mereka yang menjadi korban. Pasca kejadian tersebut, pihak keluarga mengajukan pencabutan permintaan ekshumasi.
Tim Gabungan Independen Pencarian Fakta atau TGIPF Tragedi Kanjuruhan membantah info adanya intimidasi kepada keluarga korban. Berdasarkan hasil telusur TGIPF, pencabutan permintaan autopsi tersebut didasari atas permintaan keluarga sendiri. Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenkopolhukam RI, Armed Wijaya, mengatakan dalih keluarga mencabut permintaan ekshumasi ialah permintaan dari nenek korban.
“Mereka jelaskan karea unsur orang uzur atau ibunya mas DA (nenek korban) yang tak tega makam cucunya digali kembali,” kata Armed.
Menanggapi temuan TGIPF, Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Andi Irfan, kecewa atas hasil temuan TGIPF. Ia berbicara TGIPF tak memahami kondisi psikologi korban yang tertekan akibat kedatangan personil kepolisian ke kediamannya.
“Ya artinya kan TGIPF tak punya kapasitas dan kemampuan untuk memahami psikologi korban,” kata dia.
Baca juga: Korban Tragedi Kanjuruhan Batalkan Ekshumasi Jenazah karena Terintimidasi