TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia memberikan presentasi di ruang XXI Gedung PBB - Palais des Nations, Jenewa, Swiss, ihwal situasi hak asasi orang (HAM) dan kebebasan sipil di Indonesia yang tetap terkekang selama 4,5 tahun terakhir.
Koalisi itu terdiri dari para perwakilan organisasi seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Amnesty International Indonesia, Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti pada kesempatan itu menyampaikan bahwa Indonesia tetap belum mempunyai peraturan yang komprehensif untuk pembela HAM dan proteksinya. Akibatnya tindakan kekerasan terhadap pembela HAM tetap lanjut terjadi.
"Pembela HAM ini terkadang dijustifikasi sebagai ancaman, dibuktikan dengan data yang diperoleh KontraS selama lima tahun ke belakang, adalah adanya 687 kasus kekerasan menimpa pembela HAM,” kata dia dalam Pre-Session Universal Periodic Review (UPR) untuk Indonesia pada Rabu 31 Agustus 2022.
Kekerasan kepada pembela HAM yang terjadi kini banyak menjadi impunitas, lantaran pelanggaran HAM di masa lampau tak kunjung diselesaikan seperti Tragedi Paniai yang membunuh 4 orang dan melukai 21 lainnya di Paniai, Papua.
Tahun ini, tragedi tersebut akan dibawa ke Pengadilan HAM, namun KontraS menyayangkan beberapa hal seperti: hanya ada satu tersangka, Kejaksaan Agung tak melibatkan keluarga korban dan golongan masyarakat sipil, dan letak pengadilan yang jauh dari letak keluarga.
Berkaitan dengan kebebasan sipil, Amnesty International Indonesia yang diwakili oleh Marguerite Afra, mengangkat soal isu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Mengacu pada siklus terakhir UPR, tak ada perbaikan situasi yang signifikan.
106 orang jadi korban UU ITE selama 2021
Menurut data pemantauan Amnesty, 106 orang menjadi korban UU ITE sepanjang 2021, hanya karena mengekspresikan pandangan mereka secara damai. Merujuk catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 43 kasus penyerangan terhadap jurnalis di tahun 2021 saja.
Serangan tersebut termasuk penyerangan digital dan fisik, ancaman, dan kriminalisasi. Akses jurnalis ke Papua dan Papua Barat juga tetap sangat dibatasi. Isu lain yang juga diangkat ialah hak atas kebebasan berkumpul. Aktivis dan pembela HAM di Papua dan Papua Barat yang melakukan protes tenteram kerap dituduh makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP.
"Kami mendesak negara untuk berkomitmen terhadap pemenuhan hak yang sudah dijamin dalam hukum nasional maupun internasional. Apalagi dalam berbagai forum, pemerintah Indonesia selalu menyampaikan bahwa negaranya berkomitmen untuk melindungi HAM, ini harus diimplementasikan secara konkret," kata Marguerite.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto turut menambahkan, meskipun konstitusi di Indonesia sudah menjamin kebebasan berekspresi dan Indonesia sudah meratifikasi ICCPR, namun pelanggaran dan kekerasan pada kebebasan berekspresi lanjut bertambah, termasuk berbasis orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender.
Perwakilan KIKA, Herlambang Wiratraman yang juga seorang akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM), mengatakan, kebebasan dalam lingkup akademik juga jadi persoalan di Indonesia. Selain ancaman yang muncul dari UU ITE tatkala akademisi mengkritik pemerintah, terdapat pula kebijakan politik terhadap kampus dan peleburan Badan Riset dan Inovasi Nasional.
"Dari Academic Freedom Index, yang mengukur level kebebasan akademik di seluruh dunia, mengkonfirmasi bahwa setelah reformasi dari akhir era Suharto di 1998, perlindungan kebebasan akademik lanjut menunjukkan tren menurun," ucap Herlambang.
Ketua SERUNI Helda Khasmy turut mempresentasikan ketidakadilan pembangunan terhadap wanita di Indonesia. Salah satunya terlihat dari ketidakadilan pemilikan lahan yang lanjut meningkat, di mana hanya 1 persen populasi yang mengontrol 68 persen lahan di Indonesia.
"Apalagi kepemilikan lahan oleh perempuan, yang dari siklus UPR terakhir tetap tetap di nomor 24 persen, kalau dibandingkan dengan pria yang mempunyai lahan. Selain itu, sekeliling 10 juta wanita bekerja di lahan minyak kelapa sawit, di mana setidaknya 70 persen dari mereka hanya dikontrak sebagai pekerja harian dan digaji sesuai jam dan lebih rendah dari pekerja penuh waktu," ujar Helda.
Ikuti warta terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.