Bamsoet Selesaikan Penelitian Disertasi Doktoral Tentang PPHN

Sedang Trending 8 bulan yang lalu 184

INFO NASIONAL - Ketua MPR RI  Bambang Soesatyo untuk terakhir kalinya melakukan bimbingan sekaligus menyampaikan hasil penelitian disertasinya kepada Promotor Prof. Ahmad M Ramly dan Co-Promotor Dr. Ary Zulfikar.

Mengambil tema disertasi untuk kandidat Doktor Studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, dengan judul 'Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam rangka Menghadapi Indonesia Emas', Bamsoet menjadikan berbagai institusi seperti BRIN, Lemhanas, Bappenas dan riset di lima Kedutaan Besar negara sahabat seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Singapura, Irlandia, dan Jepang sebagai objek penelitian.

Di dalam disertasinya, berdasarkan hasil penelitian dari berbagai lembaga dan dari beberapa negara tersebut, Bamsoet memandang ada benang merah, bahwa tak ada negara yang sukses dalam menjalankan roda pembangunanannya, bagus fisik (infrastruktur), sumber daya manusia, sumber daya alam, ideologi, ekonomi dan lain-lainnya tanpa perencanaan yang baik, konsisten dan berkesinambungan dari periode kepemimpinan yang satu, ke periode kepemimpinan berikutnya.

Di dalam disertasinya, Bamsoet juga mengemukakan berbagai alternatif bentuk dan dasar hukum PPHN, beserta ulasan komplit mengenai plus dan minusnya.

Bamsoet menyampaikan, setelah mengkaji berbagai alternatif payung hukum untuk PPHN, dalam penelitian disertasinya ini menemukan konsep legislasi bentuk dan dasar hukum PPHN yang paling pragmatis dan progresif tanpa amandemen, adalah dalam bentuk UU berbasis konsensus atau konvensi ketatanegaraan dengan pengembangan penerapan teori hukum transpormatif dari Prof. Ahmad M Ramly dan Teori Hukum Pembangunan Prof Mochtar Kusumaatmaja, yang kalau dikaji dari perspektif sejarahnya dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan penggagasnya sebagai sebuah 'teori' melainkan 'konsep' pembinaan hukum yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound 'Law as a tool of social engineering'.

"Sehingga PPHN haruslah merupakan direction sekaligus panduan pembangunan nasional yang sesuai dengan perkembangan Zaman dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, SDGs dan MDGs, menyongsong Indonesia Emas 2045," ujar Bamsoet usai melakukan bimbingan sekaligus menyampaikan hasil penelitian disertasinya kepada Promotor Prof. Ahmad M Ramly, dan Co-Promotor Dr. Ary Zulfikar, di Jakarta, Sabtu, 17 September 2022.

Temuan lain adalah, bahwa MPR RI dapat mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPR yang bersifat beschikking (penetapan) dan bukan bersifat regling (mengatur). Misalnya Tap MPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (pasal 39 Ayat 1) atau dalam hal MPR memutuskan tak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 39 Ayat 2).

Contoh lain, dalam praktiknya, MPR RI pasca reformasi juga pernah mengeluarkan Ketetapan MPR, merupakan Ketetapan MPR RI Nomor 1/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 tiba dengan Tahun 2002.

Jadi, kata Bamsoet, tak betul kalau ada anggapan MPR tak dapat lagi mengeluarkan TAP MPR. Konsesus melalui Konvensi Ketatanegaraan dapat saja dituangkan ke dalam Ketetapan MPR dalam bentuk beschikking (tanpa amandemen konstitusi) yang isinya mengamanatkan dibuatnya UU tentang PPHN yang bersifat lex specialis (bersifat khusus). Sehingga untuk merubah atau membatalkannya juga harus melalui Konvensi Ketatanegaraan kembali yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara yang diatur dalam UUD NRI 1945.

"Mengapa? Karena kalau hanya diatur dengan UU biasa, rawan 'ditorpedo' Perppu maupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi," ujar Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan kandidat doktoral ilmu hukum UNPAD ini menjelaskan, sebenarnya bentuk atau payung hukum yang ideal untuk PPHN ialah TAP MPR yang bersifat regeling melalui amandemen konstitusi.

Namun karena situasi politik tak memungkinan melakukan amandemen konstitusi, maka harus dicarikan terobosan baru. Yakni menggunakan kewenangan MPR yang tersedia, merupakan TAP MPR (beschikking). Sehingga konsensus 'Konvensi Ketatanegaraan' yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara atau institusi-institusi negara yang secara langsung diatur atau mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 seperti MPR RI, DPR RI, DPD RI, Lembaga Kepresidenan, BPK, MA, MK dan KY mendapatkan payung yang pas dan kuat.

"Pilihan mana yang akan dipilih, kita serahkan sepenuhnya kepada keputusan Sidang Paripurna MPR sebagai tindak lanjut dari keputusan Rapat Gabungan MPR RI yang telah menerima hasil Badan Pengkajian MPR beberapa waktu lalu. Termasuk pengambilan keputusan terkait pembentukan Panitia AdHoc yang akan diambil keputusan dalam sidang paripurna MPR Oktober mendatang," ujar Bamsoet.

Ketua DPR RI ke-20 ini lebih lanjut menjelaskan, bahwa UU tentang PPHN dibuat oleh Presiden dan DPR RI sebagai bagian dari melaksanakan instruksi konsensus tentang PPHN yang dituangkan dalam Ketetapan MPR RI. Karena bersifat lex specialis, kalau di kemudian hari ada perubahan atas UU PPHN, maka harus didahului konsensus terlebih dulu. Model legislasi seperti ini tak memerlukan amandemen konstitusi. Model ini lebih merupakan implementasi konstitusi.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, pada dasarnya setiap negara di bumi mempunyai rencana pembangunan jangka panjang. Ada yang 8 tahun, 10 tahun, 15 tahun, bahkan 100 tahun. Jepang dan Irlandia, misalnya, PPHN-nya bersifat luwes dan dinamis. Sementara RRT yang mempunyai PPHN dengan perencanaan jangka panjang hingga 100 tahun, mempunyai sifat yang tegas dengan hukuman apabila pemerintahannya tak menjalankan PPHN yang telah ditetapkan.

Sejak awal kemerdekaan, lanjut Bamoset, para pendiri bangsa secara sadar telah menyiapkan haluan negara sebagai perencanaan jangka panjang. Bung Hatta yang hadir dalam Sidang Komite Nasional Pusat (KNP), mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (nomor eks, karena belum diberi nomor) 16 Oktober 1945.

Didalamnya menegaskan bahwa KNP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan haluan negara yang kemudian dikenal dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

"Walaupun belum melangkah dengan bagus karena situasi perang mempertahankan kemerdekaan, namun keberadaan haluan negara tersebut telah menjadi awalan yang bagus bagi perjalanan pembangunan di Indonesia," kata Bamsoet.

Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, pada era Orde Baru, Indonesia mempunyai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan jangka waktu 25 tahun, yang kemudian diturunkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Hasil pembangunan Orde Baru selama 32 tahun secara konsisten dan berkesinambungan juga telah dirasakan bersama.

Namun sayangnya, sejak era reformasi, pola pembangunan malah berubah karena Indonesia tak lagi mempunyai haluan negara. Pola pembangunan dilakukan berdasarkan visi-misi presiden, visi-misi gubernur, dan visi-misi bupati/walikota terpilih.

"Dampak negatifnya, menjadikan tak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke pemerintahan penggantinya, serta tak ada keselarasan antara pembangunan pusat dengan daerah, maupun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya," ujar Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila sekaligus Wakil Ketua Umum FKPPI ini menerangkan, keberadaan PPHN sangat krusial mengingat RPJP (rencana pembangunan jangka panjang) Indonesia akan berakhir pada tahun 2025, sehingga Indonesia membutuhkan haluan negara untuk mengantar Indonesia Emas menuju 2045.

PPHN akan menjadi payung hukum yang transformatif dalam menjamin keberlangsungan pembangunan, khususnya dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, dan berbagai tantangan dunia lainnya. Sehingga dapat mewujudkan Indonesia Emas 2045, dan bukan malah menjadi Indonesia Perunggu, apalagi Indonesia Perak.

Menurut Bamsoet, keberadaan PPHN sebagai visi dan misi negara akan menjadi acuan bagi calon presiden, calon gubernur, hingga calon bupati/walikota dalam menyusun visi dan misinya saat maju dalam Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024.

Sehingga, menjamin adanya kesinambungan pembangunan yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap penggantinya, serta keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah, maupun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

"Dengan demikian tak ada proyek mangkrak, tak ada uang rakyat yang terbuang sia-sia," ujar Bamsoet. (*)

Selengkapnya